Jumat, 14 September 2012

Maarif NU, Jembatan Sekolah dengan Pemerintah


nu.or.id - Kondisi pendidikan di Tanah Air masih menyiratkan banyak pertanyaan. Sejumlah gugatan teralamat kepada beragam persoalan, mulai dari ideologi nasional, pemerataan kebijakan, penataan kurikulum, penerapan standar kelulusan, hingga kesejahteraan guru dan kelayakan gedung sekolah.
Sebagai ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) adalah unsur signifikan yang perlu mendapat sorotan. Populasi warganya yang membludak dan mayoritas dinilai cukup menentukan sekaligus menjadi alat ukur untuk membaca kondisi umum pendidikan nasional, utamanya yang menimpa pendidikan berlembaga swasta dan berbasis keagamaan. Bagaimana sesungguhnya kondisi lembaga pendidikan (dasar) NU di tengah pusaran kebijakan nasional? Berikut hasil wawancara Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU) Masduki Baidlawi.

Posisi LP Ma’arif NU dalam Sistem Pendidikan Nasional seperti apa?
Posisi Ma’arif (baca: LP Ma’arif NU, red) dengan 12.000 lembaga pendidikan yang dimiliki dalam sistem pendidikan nasional masih sangat inferior. Posisinya ada di pinggir. Kalau kita berbicara di pinggir itu bukan dalam konteks kuantitas atau jumlah lembaga pendidikan, tetapi kita berbicara dalam konteks mutu pendidikan.
Mengapa saya katakan di pinggir? Karena data terakhir dari penelitian perwakilan UNESCO yang ada di Jakarta pada tahun 2011 lalu menyatakan bahwa output pendidikan nasional kita secara keseluruhan itu hanya ada 6 % yang mampu bersaing secara internasional atau global. Mereka adalah hasil lulusan sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk go internasional. Mereka adalah yang sering diwacanakan dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) atau sekolah-sekolah internasional yang diselenggarakan atas kerjasama dengan asing. Sekolah-sekolah itu sengaja didesain untuk go global dan tentu biayanya sangat mahal. Dan itu bukan Ma’arif saya kira karena Ma’arif secara akses pendanaan tidak memadai.
Kemudian, ada 24 % dari output pendidikan nasional kita itu sesuai dengan standar nasional pendidikan (SNP), sebagaimana dituangkan pada PP No.19 tahun 2005. Di situ ada delapan standar (isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan pengelolaan pendidikan, red). SNP itu merupakan satu ukuran pencapain mutu yang paling bawah. Jadi seumpama tingkat pendidikan itu 10, maka SNP itu baru tingkat 1. Maka sebenarnya, ketika kita berbicara yang 6 % itu, berarti grade-nya di atas SNP ini. Seluruh siswa diharapkan memenuhi SNP yang ditetapkan ini.
Lalu, sisanya 70 % adalah masih berada di SPM (Standar Pelayanan Minimal). Itu adalah sebuah konsep yang jauh dari SNP. Kalau kita tadi membahas output pendidikan paling bawah adalah SNP, maka SPM ini lebih parah lagi, yakni di bawah SNP.
Kalau ditanyakan di mana posisi Ma’arif itu? Ya di yang 70 % ini. Artinya, pemerintah perlu segera memberikan afirmasi pemihakan kepada yang 70 % ini. Kalau tidak, pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ini gagal menyelenggarakan pendidikan nasional karena hasilnya yang masih jauh dari SNP.
Kedua, hasil penelitian Dikbud sendiri terhadap mutu guru. Ternyata grade rata-rata guru kita itu di bawah 5, bahkan ada yang 3 atau 2. Yang terbaik dari guru-guru kita adalah guru-guru TK (Taman Kanak-Kanak). Ini untuk kemampuan guru dalam hal belajar-mengajar. Jadi kita itu prihatin. Dari sisi guru, kita di bawah standar, dari sisi murid juga di bawah standar.
Sekali lagi, kalau ditanya, di mana posisi Ma’arif, ya di situ. Terdapat 12.000 lembaga pendidikan yang posisinya di bawah standar minimal itu!

Perhatian pemerintah sejauh ini sampai mana?
Kalau pemihakan dalam artian good will saya kira ada. Cuma pemerintah banyak salah kaprah dalam penerapan kebijakan. Contohnya, UN (Ujian Nasional). UN itu mubazir. Bagaimana mau dilaksanakan UN kalau kondisinya seperti tadi. Gurunya nggak bermutu, murid-muridnya outputnya seperti itu. Mau dilaksanakan UN seperti apa, itu nggak ada gunanya. Karena, UN itu adalah kebijakan yang berorientasi pada hasil akhir dalam pendidikan. Padahal, dalam teori pendidikan itu kan ada input, proses, output, outcome dan seterusnya.
Yang terpenting dalam pendidikan adalah pendidikan sebagai proses. Sementara UN itu berada pada posisi output, hasil akhir. UN telah banyak menghabiskan ratusan miliar per tahun. Padahal posisi guru kayak gini, kondisi pendidikan kita seperti itu. Jadi, sebenarnya orientasi UN itu mubazir, nggak ada gunanya. Dan banyak sekali dana-dana mubazir kaya gitu, kurang tepat sasaran. Itu penglihatan dari segi dana pendidikan kita. Dan masih banyak lagi penggunaan dana-dana yang tidak efisien.

Terus upaya LP Ma’arif sendiri menghadapi kondisi ini?
Lembaga Pendidikan Ma’arif dalam konteks hubungannya dengan pemerintah itu kan ada dua, yang satu ke Dikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, red) dan yang kedua ke Depag (Departemen Agama). Posisi Ma’arif itu kan sebenarnya jembatan. Jembatan antara sekolah yang ada dengan pemerintah. Posisi jembatan ini kita lakukan terus, tetapi belum maksimal. Sebab, baik Depag maupun Dikbud sampai saat ini belum menjadikan Ma’arif sebagai prioritas meskipun yang jadi menteri sekarang adalah kader-kader NU. Katanya, Pak Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, red) itu NU, katanya Menteri Agama Suryadarma Ali itu NU, tetapi saya melihat beliau-beliau ini belum melihat Ma’arif sebagai lembaga pendidikan yang perlu mendapatkan pemihakan-pemihakan. Padahal, sudah selayaknya bahwa Ma’arif menjadi bagian dari pemihakan, karena selama ini kan yang dizalimi oleh negara adalah pendidikan swasta yang miskin seperti Ma’arif ini.
Dengan adanya kader NU menjadi menteri, pemihakan itu seharusnya menjadi pasti kepada lembaga-lembaga pendidikan Ma’arif. Pak Nuh kalau berpidato di depan kalangan NU selalu menunjukkan komitmennya tentang utang pemerintah kepada NU, dan seterusnya. Tetapi dalam realisasinya tidak terjadi sebagaimana pidato-pidato yang beliau kemukakan di depan ulama-ulama NU. Kita berharap, pidato yang meluap-luap di depan para ulama itu dapat direalisasikan dalam bentuk pemihakan yang lebih konkret gitu.

Sebagai lembaga pendidikan milik NU, apa yang dikembangkan secara khas oleh LP Ma’arif?
Kalau kita tadi bicara soal SNP sebagai "obat generik", yang sama antara satu dengan yang lain, Ma’arif itu menginginkan di samping SNP itu harus ada kekhasan yang dimiliki. Makanya, inilah prioritas program yang hendak dirumuskan sebagai Standar Mutu Ma’arif. Standar Mutu Ma'arif itu, ya "SNP Plus". "Plus" itu adalah kearifan-kearifan lokal NU. Salah satu kearifan itu, misalnya, ke-Aswaja-an dalam bentuk-bentuk yang sifatnya best practice. Kita sudah punya beberapa contoh, misalnya, RSBI Sekolah Menengah Kejuruan di Kebumen sudah mempunyai kekhasan-kekhasan seperti itu. Jadi pendidikannya unggul di satu sisi—artinya merupakan SMK-SMK terbaik di Jawa Tengah—tetapi di sisi lain punya kekhasan, di mana Aswaja diajarkan dalam bentuk praktikum, tidak hanya pengajaran Aswaja dalam bentuk teks atau yang diomongkan. Misalnya, guru-guru itu kalau mengajar mengaji harus secara fasih sehingga lulusan dari sekolah itu rata-rata mampu membaca al-Qur'an dengan fasih, bertajwid, dan lain sebagainya.
Yang lainnya, upaya bagaimana siswa mengenal kesejarahan Aswaja dalam konteks kesejarahan nasional. Termasuk otomatis nilai-nilai ke-NU-an seperti tasamuh (toleransi), tawasuth (moderat)tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak) karena kita fokusnya pada pendidikan karakter. SNP Plus kekhasannya terletak di situ.

Bagaimana Bapak melihat perkembangan pesantren yang terseret arus sistem pendidikan nasional sehingga mengalami penggerusan nilai dan materi kepesantrenan?
Salah satu kesalahan terbesar dari sistem pendidikan nasional kita itu bermula dari SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri. Itu terjadi waktu Mukti Ali sebagai Menteri Agama, Syarif Tayeb sebagai Menteri Pendidikan Nasional, dan Amir Mahmud sebagai Menteri Dalam Negeri di zaman Orde Baru. Jadi itu yang memaksa sekolah agama seperti Madrasah Aliyah dan pendidikan pesantren zaman Orde Baru mengkuti kurikulum nasional.
Kurikulum nasional itu sebenarnya adalah kurikulum yang dirumuskan secara sekuler. Setelah itu, mau nggak mau pesantren-pesantren harus merespon SKB Tiga Menteri itu. Dan kelemahan mendasar lain dari kurikulum nasional sejak dulu hingga sekarang bahwa watak kurikulum nasional itu tidak mampu menciptakan semangat entrepreneurship dari lulusannya. Lulusan-lulusan yang dihasilkan kurikulum nasional rata-rata mengarah pada keinginan menjadi pegawai negeri. Ia tidak menciptakan lulusan bagaimana menjadi kader bangsa dan bisa menjadi entrepreneur. Mengapa para entrepreneur kebanyakan dari kalangan China? Karena mereka tidak tergantung pada kurikulum kita. Kalaupun sekolah dengan kurikulum kita, keluarganya itu menciptakan suatu mental kewirausahaan yang baik dengan berbagai cara. Watak kurikulum kita dari dulu seperti itu. Nah, banyak lulusan pesantren sekarang juga sama, orientasinya ingin menjadi pegawai.
Nah, sekarang mampukah bersaing seorang yang dicetak oleh kurikulum nasional? Bisa anda bayangkan, antara lulusan pesantren dengan lulusan sekolah negeri, yang satu dari MA dan yang satunya SMA, lebih besar mana diterimanya sebagai pegawai negeri? Pasti orang dari sekolah umum yang lebih memiliki kans untuk diterima sebagai pegawai negeri daripada orang dari pesantren.
Penggerusan nilai-nilai pesantren lewat kurikulum itu sudah terjadi. Itu sebenarnya kerugian yang tidak disadari oleh pimpinan-pimpinan pesantren dari kurikulum itu. Dan baru setelah reformasi kita mengenal yang namanya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Itu pun sampai sekarang realisasinya tidak mampu menciptakan kurikulum berbasis lokal, yang bisa dihayati oleh sekolah sehingga menjadi ciri khas yang bisa digali betul. Kekhasan-kekhasan lokal yang dimiliki pesantren, misalnya.
Jadi, KTSP realisasi di bawah belum ada karena tidak ada semangat dari pemerintah untuk menjadi jembatan bagaimana agar sekolah-sekolah itu memunculkan semangat KTSP itu. Artinya, KTSP itu baru sebuah konsep yang nihil pelaksanaanya di daerah. Dengan demikian, Ma'arif dan pesantren sampai sekarang masih dalam posisi yang sedang terintervensi oleh negara dan belum bisa bangkit.

Kalau mau diadakan perubahan kira-kira dari mana pintu masuknya?
Kalau mau diadakan perubahan, pertama yang harus dilakukan adalah mengoreksi sebenarnya apa itu ideologi pendidikan nasional. Jadi perubahan bersifat makro. Ideologi nasional itu kan kita harus mengacu pada dua dasar, pertama Pancasila, kedua UUD '45. Di Pancasila jelas diterangkan tentang dasar religiusitas sebagai satu sistem nilai yang mewakili sila-sila lainnya. Dan yang paling pokok, Pancasila itu anti-neoliberal. Sekarang pendidikan kita kan arus utamanya mengarah ke neolib. Watak dari neolib adalah siapa yang punya uang, dia yang mendapatkan pendidikan bermutu, dan siapa yang tidak punya uang, dia tidak mendapatkan pendidikan bermutu.
Nah, ideologi pendidikan nasional tidak seperti itu. Karena Undang-Undang Dasar ’45 dalam preambule menyatakan bahwa tugas pendirian negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tidak boleh pilih kasih: miskin juga bangsa, kaya juga bangsa. Keduanya sama-sama layak dicerdaskan. Kalau mau mengadakan perubahan, ya ubah orientasi pendidikan neoliberal ini kepada pendidikan yang berorientasi ideologi nasional.
Salah satu kunci pokok pendidikan nasiona itu apa? Konstitusi kita menyatakan telah menjamin pendidikan dasar, yakni tingkat Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar dan SMP/Madrasah Tsanawiyah. Pendidikan dasar ini ditanggung oleh negara. Gratis. Gratis itu bukan berarti tidak bermutu. Sekarang ini kan gratis identik dengan pendidikan tidak bermutu. Kalau merujuk pada preambule UUD, berarti ya gratis dan bermutu baik SMP/MTs atau SD/MTs. Itu adalah kewajiban negara. Bahkan untuk SMA hingga perguruan tinggi. Tentu kewajiban negara itu makin terbagi. Kalau untuk pendidikan dasar menjadi sepenuhnya tanggung jawab negara, maka untuk SMA/MA/SMK tidak hanya menjadi kewajiban negara tapi juga kewajiban keluarga. Perguruan tinggi juga seperti itu. Tapi kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa itu tetap menjadi aliran utama dari tanggung jawab pendidikan di semua tingkatan karena ia merupakan ideologi pendidikan nasional. Nah, perubahan dimulai dari sini. Ini untuk perubahan di tingkat negara. Lalu bagaimana perubahan ditingkat masyarakat?
Masyarakat juga harus mengalami perubahan. Bagaimana? Sebenarnya kita kan sudah punya konsep yang sudah lama dilaksanakan oleh pemerintah setidak-tidaknya secara normatif, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS menjelaskan bahwa pihak sekolah lah penentu kelulusan siswa. Sekolah lah yang sebenarnya menentukan segalanya baik kurikulum maupun ukuran keberhasilan seseorang. Tidak ditentukan oleh negara atau pemerintah baik pemerintah pusat, propinsi atau kabupaten/kota.
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki watak bottom up. Tidak top down, tapi benar-benar tumbuh dari masyarakat. Contohnya ya pesantren itu. Pesantren kan tidak ditentukan oleh siapa-siapa. Semua apa kata kiai, apa kata santri, apa kata guru, berdasarkan pertimbangan musyawarah. Nah, itulah yang mestinya dilakukan kalau kita menginginkan output pendidikan nasional kita itu baik. Tidak menghasilkan lulusan yang melulu bermental pegawai, tapi lebih bermental wirausaha.
Jadi di satu sisi secara nasional di puncaknya ada ideologi nasional yang diterapkan; tidak berbasiskan neoliberal melainkan berbasiskan konstitusi kita. Tapi di sisi lain harus diterapkan Manajemen Berbasis Sekolah yang berwatak buttom up itu. Kalau itu bisa dilaksanakan, saya kira itu akan baik. Dan pemerintah harusnya mendorong itu. Ma’arif sebagai jembatan juga bisa mendorong itu bila ada good will dari pemerintah dan lainnya. Kalau tidak, gimana, lha wong berbagai kebijakan itu mengandung dana dan dananya sangat besar.

Untuk menghadapi realitas kebijakan yang sudah terlanjur ada dan tetap dilaksanakan, seperti Ujian Nasional, himbauan LP Ma'arif apa?
UN itu memang nggak bisa nggak masih tetap dilaksanakan. Pemerintah sudah dikritik kayak apa juga tetap bandel. Ma’arif sudah menyatakan tidak setuju juga masih dilaksanakan. Ya udah, tapi setidak-tidaknya harus ada imbangan kebijakan bahwa akses dan kesenjangan pendidikan kita harus segera diterobos dong. Gap mutu sekolah itu luar biasa, gap mutu guru itu juga luar biasa antara satu daerah dengan yang lain, seperti gap antara sekolah yang ada di Jawa dengan sekolah yang ada di luar Jawa. Pemerintah mesti segera menembus itu semua. Mutu sebenarnya yang lebih prioritas dari sekadar melaksanakan UN. Mutu itu apa? Seperti yang saya katakan tadi, mutu terletak di proses. Artinya, kalau belajar Matermatika, Kimia, dan Fisika, ya pemerintah harus memfasilitasi. Jangan uangnya dimubazirkan untuk UN dan segala macem itu, sementara ada sekolah-sekolah di berbagai daerah yang kekurangan laboratorium, misalnya.

Bagaimana kesiapan Ma’arif terhadap UN yang diselenggarakan oleh pemerintah?
Nggak ada sekolah yang tidak siap karena memang dipaksa siap. Tapi itu kan akhirnya sekolah-sekolah hanya menjadi lembaga kursus, bukan lembaga pendidikan. Kalau lembaga kursus itu kan yang terpenting bisa menjawab ujian. Tidak memanusiakan manusia. Padahal sekolah itu kan intinya memanusiakan manusia. Membudayakan orang yang tak berbudaya. Bukan sekedar menjawab soal. Kalau cuma itu ya laksanakan UN. Tapi kalau pendidikan ingin memanusiakan manusia, ya jangan seperti itu. Itu berbahaya sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar